الأمر بالشيء أمر بوسائله
Selasa, 15 September 2020
Tulis Komentar
Langsung saja:
الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut.
Contoh:
Ketika guru kita memerintah kita untuk naik ke atas genting berarti guru kita juga memerintah kita untuk mencari tangga yang menjadi lantaran sampainya kita ke atas genting.
Kesimpulan:
Di saat guru memerintah kita naik ke atas genting kita tidak boleh menjawab: tangganya mana yaitu?
terus gurunya disuruh nyari tangga!
itu nggak boleh.
di saat guru memerintah sesuatu berarti perintah juga pada lantaran lantaran yang bisa menyampaikan pada sesuatu itu.
Contoh ubudiyah:
Ketika atasan memerintah kita untuk mengerjakan salat berarti kita diperintahkan untuk berwudhu karena wudhu merupakan syarat sahnya salat.
Dari qaidah uşūliyah inilah, muncul berbagai istinbāţ, penalaran, dan penetapan hukum terhadap penerapan dan aplikasi fikih dalam kehidupan umat manusia.
Untuk membatasi penjabaran qaidah tersebut di atas dalam makalah ini, maka kami memfokuskan pembahasan pada:
• Wasīlah dalam pandangan ulama.
• Kedudukan dan aplikasi qaidah
الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ .
PENJELASAN:
PENJELASAN:
Wasīlah dalam pandangan ulama
Wasīlah ialah perantara yang menyebabkan sesuatu perbuatan. Para ulama merumuskan wasīlah ini dalam kaidah :
الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut”.
Berdasarkan qaidah ini sesuatu perbuatan yang diperintahkan tidak akan terwujud kecuali dengan adanya perbuatan lain sebelumnya, ataupun alat untuk mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Seperti perintah şalat berarti juga mengandung perintah ţahārah ( wuduk dan lain-lain), karena şalat dianggap sempurna/sah apabila sebelumnya ber-ţahārah (berwuḍu,). Juga perintah naik rumah berarti juga perintah menegakkan tangga sebagai perantara naik rumah. Şalat dan naik rumah disebut maqāşid atau wājib muţlaq, dan wuḍu’ serta menegakkan tangga disebut wasīlah atau wājib muqayyad. Jadi baik maqāşid maupun wasīlah memiliki hukum yang sama. Atas dasar pertimbangan itulah para ulama merumuskan kaidah:
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“ hukum yang terjadi pada beberapa tujuan itu juga terjadi pada beberapa hal antaranya".
Wasīlah ialah perantara yang menyebabkan sesuatu perbuatan. Para ulama merumuskan wasīlah ini dalam kaidah :
الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
“Perintah terhadap sesuatu perbuatan berarti perintah juga bagi perkara-perkara yang menjadi perantara terlaksananya perbuatan tersebut”.
Berdasarkan qaidah ini sesuatu perbuatan yang diperintahkan tidak akan terwujud kecuali dengan adanya perbuatan lain sebelumnya, ataupun alat untuk mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Seperti perintah şalat berarti juga mengandung perintah ţahārah ( wuduk dan lain-lain), karena şalat dianggap sempurna/sah apabila sebelumnya ber-ţahārah (berwuḍu,). Juga perintah naik rumah berarti juga perintah menegakkan tangga sebagai perantara naik rumah. Şalat dan naik rumah disebut maqāşid atau wājib muţlaq, dan wuḍu’ serta menegakkan tangga disebut wasīlah atau wājib muqayyad. Jadi baik maqāşid maupun wasīlah memiliki hukum yang sama. Atas dasar pertimbangan itulah para ulama merumuskan kaidah:
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ الْمَقَاصِدِ
“ hukum yang terjadi pada beberapa tujuan itu juga terjadi pada beberapa hal antaranya".
Seperti salat hukumnya wajib berarti wudhu sebelum salat itu juga wajib.
Dari kaidah ini, kiranya dapat dipahami bahwa jika maqāşid-nya wājib maka wasīlah-nya juga wājib, dan jika maqāşid-nya haram maka wasīlah-nya juga haram, serta jika maqāşid-nya sunnah maka wasīlah-nya juga sunnah, dan seterusnya.
Berdasarkan pertimbangan itulah jumhūr al-‘ulamā’ berpendapat bahwa:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَجِبٌ
“Sesuatu perkara yang kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka perkara tersebut juga merupakan kewajiban”
Kedudukan kaidah:
الأَمْرُ بِالشَّيْءِ أَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ
Secara umum kaidah ini merupakan bagian dari penjabaran dalam Bāb al-Amr (perintah) sekaligus juga dimasukkan oleh para ulama uşūl dalam Bāb al-Wujūb (kewajiban).
kedudukan wasīlah dalam suatu perbuatan, apakah masuk dalam kategori wajib atau sunnah, maka para ulama merincikannya dalam qaidah yang lebih jelas, yaitu:
مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ وَ مَالاَ يَتِمُّ الْمَنْدُوْبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ
“Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib, dan sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah”.
“Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib, dan sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah”.
Qoidah ini terperinci pada tiga hal:
مَالاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
(Sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu kewajiban maka perkara tersebut hukumnya wajib).
مَالاَ يَتِمُّ الْمَنْدُوْبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَنْدُوْبٌ
(sesuatu yang tanpanya tidak sempurna suatu amalan sunnah maka perkara tersebut hukumnya sunnah).
مَالاَ يَتِمُّ تَرْكُ الْحَرَامِ إِلاَّ بِتَرْكِهِ فَتَرْكُهُ وَاجِبٌ
(sesuatu perkara yang apabila tidak ditinggalkan, maka keharaman juga tidak dapat ditinggalkan, maka meninggalkan perkara tersebut hukumnya wajib).
Belum ada Komentar untuk "الأمر بالشيء أمر بوسائله"
Posting Komentar